Wednesday, February 2, 2011

Mengokohkan Tradisi Ilmiah

Mengokohkan Tradisi Ilmiah

Oleh : Anis Matta

 

OSAMA” kata Fisk, seorang wartawan Inggris yang pernah menemuinya, “adalah sedikit orang Arab yang tidak merasa malu untuk berpikir sebelum berbicara”. Kesan wartawan Barat yang dinukil majalah Tempo itu kemudian dijadikan ciri yang membedakan Osama dengan Saddam Hussain atau Muammar Qaddafi, misalnya.

Kesan itu mungkin mengejek tradisi orang Arab yang gemar berbicara tanpa berpikir. Tapi menurut saya, itu bukan hanya ciri orang Arab atau bangsa lainnya. Itu merupakan satuan mutu yang menandai tingkat peradaban baru masyarakat. Berpikir sebelum berbicara adalah salah satu dari tradisi ilmiah yang kokokh.

Tapi tradisi ilmiah yang kokoh, yang merupakan salah satu faktor yang dapat mengubah keragaman menjadi sumber produktivitas kolektif kita, tidak hanya ditandai oleh ciri di atas. Ia juga ditandai oleh banyak ciri.

Pertama, berbicara atau bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan.

Kedua, tidak bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap sesuatu sebelum mengetahuinya dengan baik dan akurat.

Ketiga, selalu membandingkan pendapatnya dengan pendapat kedua dan ketiga sebelum menyimpulkan atau mengambil keputusan.

Keempat, mendengar lebih banyak daripada berbicara.

Kelima, gemar membaca dan secara sadar menyediakan waktu khusus untuk itu.

Keenam, Lebih banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan dalam kesendirian.

Ketujuh, selalu mendekati permasalahan secara komprehensif, integral, objektif, dan proporsional.

Kedelapan, gemar berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wacana dan ide-ide, tapi tida suka berdebat kusir.

Kesembilan, berorientasi pada kebenaran dalam diskusi dan bukan pada kekenangan.

Kesepuluh, berusaha mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu dan tidak bersikap emosional dan meledak-ledak.

Kesebelas, berpikir secara sistematis dan berbicara secara teratur.

Keduabelas, tidak pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar.

Ketiga belas, menyenangi hal-hal yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan.

Keempat belas, rendah hati dan bersedia menerima kesalahan

Kelima belas, lapang dada dan toleran dalam perbedaan.

Keenam belas, memikirkan ulang gagasannya sendiri atau gagasan orang lain dan senantiasa menguji kebenaran.

Ketujuh belas, selalu melahirkan gagasan-gagasan baru secara produktif.

Tentu saja ketujuh belas ciri di atas bukanlah semua ciri yang menandai tradisi ilmiah yang kokoh. Itu hanyalah ciri yang pangling menonjol. Apa yang terlihat pada ciri-ciri itu adalah nuansa yang kuat tentang keyakinan, kepastian, fleksibilitas, dinamika, pertumbuhan, kemerdekaan, kebebasan, dan keakraban. Mereka yang hidup dalam sebuah komunitas dengan tradisi ilmiah yang kokoh meraskan kemandirian, aktualisasi diri, kebebasan, kemerdekaan, tapi juga menikmati perbedaan, tantangan, dan segala hal yang baru. Mereka juga telah menelusuri detil dan kerumitan, sabar dalam ketidakpastian, dingin dalam kegaduhan, tapi sangat percaya diri dalam mengambil keputusan.

Tapi, darimanakah tradisi itu terbentuk ? Faktor-faktor apakah yang mendukung proses pembentukannya ? Tidakkah itu kelihatan terlalu ideal ? Sulitkah membangun tradisi itu ? Tradisi ilmiah bukanlah sekedar kebiasaan-kebiasaan ilmiah yang baik tapi lebih merupakan standar mutu yang menjelaskan kepada kita diperingkat mana peradaban suatu bangsa atau suatu komunitas itu berada. Tradisi ilmiah bukanlah gambaran dari suatu kondisi permanen. Namun, lebih mengacu kepada suatu proses yang dinamis dan berkembang secara berkesinambungan.

Tradisi ilmiah mengakar kepada cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan. Tentang fungsi dan perannya dalam membentuk kehidupan kita. Tentang seberapa besar kita memberinya ruang dan posisi dalam kehidupan kita. Tentang sejauh mana kita bersedia mengikuti kaidah-kaidahnya. Tentang berapa banyak harga yang dapat kita bayar untuk memperolehnya. Kata ilmu terulang lebih dari 800 kali dalam Al-Qur’an. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai syarat untuk merebut dunia dan akhirat sekaligus. Itulah sebabnya Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan sama besarnya dengan terhadap makan dan minum. Atau, bahkan lebih besar lagi.

Tradisi ilmiah selanjutnya dibentuk oleh susunan pengetahuan yang benar. Sebab, pengetahuan yang terserap dengan susunan yang salah akan membuat kita mengalami keracunan dalam berpikir. Ilmu-ilmu yang kita serap tidak saling terkorelasi secara fungsional dengan benar. Seseorang akan gagal memahami Islam dengan benar jika tidak mempelajari ilmu-ilmu Islam dalam susunan yang terangkai secara benar. Misalnya, jika ia hanya mempelajari tasawwuf. Demikian juga jika seseorang mempelajari kewirausahaan dalam ekonomi modern dan tasawwuf pada waktu bersamaan. Mungkin sekali akan mengalami split jika tidak mempelajari system Islam secara menyeluruh dan sistem ekonomi Islam secara khusus.

Setiap kelompok ilmu pengetahuan mempunyai susunannya sendiri-sendiri, termasuk pola hubungan internalnya. Misalnya, kelompok ilmu-ilmu keislaman, kelompok ilmu-ilmu sosial, humaniora, kelompok ilmu-ilmu alam. Tapi, semua kelompok ilmu itu juga mempunyai korelasi antara mereka yaitu struktur, fungsi dan sejarah perkembangan yang berakar pada sebuah paradigma besar, yang kemudian kita sebut sebagai filsafat lmu. Tapi, apa yang penting bagi kita, dalam kaitan dengan susunan pengetahuan itu, adalah sifat dan pola pengetahuan kita.

Setiap pendidik hendaknya menggabungkan antara pengetahuan yang komprehensif, bersifat lintas disiplin, dan generalis dengan penguasaan yang tuntas terhadap satu bidang ilmu sebagai spesialisasinya. Yang pertama mengacu kepada keluasan. Sedang yang kedua mengacu pada kedalaman. Yang pertama memberinya wawasan makro, yang kedua memberinya penguasaan mikro. Yang pertama memberi efek integralitas, yang kedua memberi efek ketepatan. Dengan begitu seorang pendidik senantiasa berbicara dengan isi yang luas dan dalam, integral dan tajam, berbobot dan terasa penuh.

Tradisi ilmiah selanjutnya dibentuk oleh sistematika pembelajaran yang benar. Waktu kita tidak memadai untuk menguasai banyak ilmu. Waktu kita tidak cukup untuk membaca semua buku. Tetapi, kita tetap dapat menguasai banyak ilmu melalui sistematika pembelajaran yang benar. Untuk itu, kita memerlukan seorang guru, seorang ulama, yang mengetahui struktur dari setiap ilmu dan cara mempelajarinya.

Akhirnya, membaca adalah instrumen utamanya. Dan, jika kita ingin mengokohkan tradisi ilmiah kita, sudah saatnya kita berhenti membaca apa yang kita senangi. Beralihlah untuk membaca apa yang seharusnya kita baca.

Membangun sebuah tradisi ilmiah yang kokoh tentu saja membutuhkan kesungguhan dan keseriusan serta kesabaran yang melelahkan.

(Menikmati Demokrasi, Anis Matta)



0 comments:

Post a Comment