Wednesday, December 19, 2012

Gerak yang Menyembuhkan

Seorang kawan pernah berkata,
“Bergerak dulu baru sembuh, atau sembuh dulu baru bergerak (?)”

Haha. Ternyata seringkali sayapun mengalaminya, terombang-ambing menjawab tanya itu. Meskipun hanya pertanyaan yang berseliweran dalam diri.
Saya juga belum benar-benar mampu menjawabnya, sampai disuatu waktu saya mendapat jawabannya, sendiri, langsung dengan pengalaman saya sendiri.


Entah harus dituliskan bagaimana, yang jelaaaas, bergerak saja semampu diri, menunaikan satu per satu amanah yang memang harus sesegera mungkin dilaksanakan. Dengan tidak merasa-rasa bahwa diri ini sebetulnya sedang butuh sesekali untuk dimanja. Diajak berdiam, tanpa harus melakukan suatu apa.


Dan ternyata, bergerak itu memang benar-benar menyembuhkan. Lupa kalau ternyata punya “diri” yang butuh pemanjaan. Hmm, mungkin, gerak itu adalah bentuk pemanjaan untukmu, diri. :)


Dilain waktu, ada masa ketika memang “diri” bukan hanya sekadar -butuh dimanja- . Yaap, tapi sudah memaksa. Ini berbeda. Bukan butuh tapi memaksa. Memaksa untuk dimanja.

Maka benarlah, amanah apapun memang harus tertunaikan, terjalankan, dan berjalan sesuai dengan porsinya masing-masing. Pun menunaikan hak “diri” sebagai amanah yang Tuhan beri. 

Maka benarlah, porsi asupan ruhiy mesti setara dengan amanahmu. Asupan gizi untuk fisikmu juga harus sebanding dengan jam terbangmu..

Sebab amanah itu harus tertunaikan, sesuai dengan porsinya masing-masing.
Agar tak ada yang tersakiti atau terzhalimi.

Untukmu diri, maaf ya sering dzhalim.

Untukmu ruhiiy, ternyata masih banyak ruang kosongmu, disana ya? Astaghfirullaah. Doakan agar bisa terus kontinu terisi. 


Kemudian,
“Bergerak dulu baru sembuh, atau sembuh dulu baru bergerak (?)” :)
Silahkan jawab :) 


#Safar 1434 
20.12.2012

Penolakan

Terlepas dari Qadarullah, sekarang saya sadar, bahwa memang ada saat-saat dimana kesempatan itu tidak akan pernah bisa hadir, dua kali.

Maka, memilih untuk menerima atau memilih (lebih) memilih-milih adalah pilihan.
Saya masih ingat betul, ketika masih sekolah di menengah atas, saya ditawari kendaraan oleh Ayah saya.

Kata Beliau : “Kamu butuh motor? Kalau mau, tapi yang M*O” (menyebut salah satu merk motor matic)
Saya : “iya maauuu. tapi ga mau matic, maunya yang biasa, yang gigi”

Entahlah, pikiran saya dikala itu, matic itu gak kece. Terlalu feminin (lah padahal saya juga perempuan sih, hhe). Tapi yaa saya lebih berharap dikasih motor nonmatic. Begitu.
Pada akhirnya, saya benar2 tidak “mendapat” motor pribadi dari ayah saya, sampai detik ini. Hehe. Yaa karena penolakan (saya) itu. #Think- 1


Saya juga masih ingat betul, masih ketika SMA, ada yang bersedia untuk menjadi pelatih saya buat menyetir mobil. Tapi karena beberapa faktor, lagi-lagi penolakan saya, saya belum sempat belajar menyetir mobil, baru sekali waktu itu. Sampai detik ini, sampai emang taqdirnya juga sih, mobilnya sekarang udah ga ada, alias dijual. :( *dan saya belum bisa nyetir* #Think- 2

Dan bila, ada yang “datang” suatu waktu, lalu dengantanpaberpikirpanjang kembali lagi berlaku penolakan itu, hm, hati-hati kali ya. hahahah. #ooopps
#Think- 3


*ini kenapa endingnya jadi begitu yah, hehe*
~Safar 1434

Saturday, December 8, 2012

Niscaya itu, Sementara(kan) saja

Katanya, hidup itu hanya siklus. Baik-buruk. Suka-Duka. Atas-Bawah. Masuk-Keluar, … juga berbagai hal yang selalu memiliki pasangannya, ah bukan pasangan. Tapi Lawan. Lawan Kata, tepatnya.

Pun katanya, kelahiran selalu akan berakhir pada kematian. Begitupun pertemuan, akan selalu berujung pada perpisahan. Itu katanya. Tapi kau juga percaya, bukan? Kalau hal itu niscaya.

Oh Allah, satu diantara banyak pintaku padaMu. Izinkan aku untuk terus meminta. Ya, meminta-minta padaMu. Sebab tak tau lagi kepada siapa aku harus meminta. Sebab yang aku tau hanya Kau yang Maha Pemberi, Allahku.

Allah, satu diantara banyak pintaku padaMu.
Bila memang semua harus berakhir pada kematian. Bila setiap pertemuan harus selalu berujung pada perpisahan. Maka jadikan itu semua hanya sementara. 

Jadikan setiap perpisahan hanya sebagai perpisahan yang sementara. Itu saja.
Kekalkan kami (lagi) kelak, ya Rabb.
Kekalkan kami kelak di tempat kedamaian yang senantiasa Kau janjikan. Izinkan kami kelak bertemu, tanpa berpisah (l(lagi). Izinkan kami semua “terlahir kembali” untuk kehidupan yang damai lagi abadi..
“dan orang-orang yang beriman, beserta anak-cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan. Kami pertemukan mereka dengan anak-cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”
(Ath Thuur: 21)

: satu hari. saat berkesempatan menghadiri acara walimah, mendapat kabar meninggal, menjenguk seorang yang sakit (tak sadarkan diri), hingga kabar kelahiran seorang jundi baru.
Allah, thank to teach me about everything. Every-Think!
#Muharram1433
Desember’12