Thursday, January 7, 2010

Hanya Sebuah Refleksi Menuju Orientasi

Hanya Sebuah Refleksi Menuju Orientasi*

oleh : Nur Izzah Robbaniyah **

 

 

 

            Awalnya saya ingin berbagi, kebetulan sebelum menulis ‘refleksi’ ini, saya teringat akan perkataan seorang teman yang beberapa waktu lalu mengatakan pada saya “Bagiku, da’wah di syi’ar alias LDF atau LDK itu gak ada apa-apanya ketimbang di siyasi alias di eksekutif ataupun legislatif kampus, orang-orang yang mau berkecimpung di bidang syi’ar itu hanyalah orang-orang yang gak mau keluar dari zona nyaman”. What’s up ? Tak cukup saya menanggapi saat itu dan rasanya ingin kembali menerjemahkan serta menuangkannya dalam tulisan ini.

            Setuju dengan statement tersebut? Saya yakin, semua yang mendengar itu geleng-geleng kepala atau langsung dengan emosi penolakannya. Apalagi orang-orang yang mendengarnya adalah orang-orang yang memang langsung terjun di da’wah syi’ar kampus. Tak rela ‘kan da’wah syi’ar kita dipandang sebelah mata begitu saja ? “Mmm.. biarlah, itu-kan hanya pandangan manusia saja, pandangan Allah itu TEPAT, tak mungkin Allah memandang kita sebelah mata, Allah pasti tahu apa yang kita kerjakan, sekecil apapun itu.” Jawaban itu yang mungkin nantinya akan ada di benak kita. Ya ! Pasti... Allah Maha Sempurna dalam menilai segala sesuatu. Tapi kawan, setelah saya pikirkan dan refleksikan kembali kata-kata itu, rasanya saya ingin mencoba untuk menerjemahkannya dari sudut pandang lain.

            Pertama, kita ‘yang katanya aktivis lembaga da’wah fakultas ini’ seringkali kurang menjadikan diri kita sebagai teladan bagi teman-teman kita, inginnya mengajak tetapi kita sendiri tak mau ikut ke sana, layaknya para calo angkutan umum, yang menyuruh para penumpang untuk naik ke angkotnya tapi dirinya sendiri tak ikut naik ke dalam kendaraan itu. Ambil saja contoh kecil dari hal ini, tentang penghargaan terhadap waktu, kita selalu berbicara hakikat waktu yang sangat berharga karena tak akan mungkin untuk diputar ulang, tapi pada kenyataannya kita juga yang melalaikannya, janji untuk mengadakan syura pukul sekian namun baru mulai pukul sekian dan hal kecil itu juga berdampak (walaupun terlihat sepele) para akhwat yang sering pulang malam dari kampus. Itu semua karena apa kalau bukan karena keegoisan diri kita masing-masing, dan masih banyak lagi sebenarnya keteladanan-keteladanan yang seharusnya justru ditularkan dari kita ‘yang katanya seorang aktivis lembaga da’wah fakultas’, sekali lagi seharusnya kita yang ‘menularkan’ keteladanan-keteladan itu kepada orang-orang sekitar kita. Bukankah cara yang paling efektif untuk menyeru pada kebaikan itu adalah dengan teladan yang baik ?

            Kedua, zona nyaman. Dalam hal ini saya melihat dari persepsi yang berbeda dengan makna “zona nyaman” yang rekan saya maksud. Terkait zona nyaman yang ingin saya paparkan, saya sering melihat bahkan sesekali juga saya sempat merasakan ‘zona nyaman’ itu. Kita ‘yang katanya aktivis lembaga da’wah fakultas ini’ justru terlihat semakin adem ayem saja dengan keadaan demikian, keadaan dengan label ISLAM dan notabene-nya memang sudah di-cap baik oleh semua orang, apalah gunanya label itu jika tanpa tindakan ? Jika tanpa kontribusi ? Jika tanpa manfaat ? Terbukti, keadaan saat ini sesungguhnya masih ingin melihat tangan-tangan kita, seperti maraknya kristenisasi yang akhir-akhir ini semakin gencar di kampus kita, semakin menjadi-nya juga NII di lingkungan terdekat kita, beberapa jurusan-jurusan yang sudah semakin banyak korbannya, segala macam tindak tanduk yang berbau dengan pembengkokkan aqidah yang harus segera diluruskan, hingga hal kecil (mungkin sepele bagi sebagian orang) saat di bongkarnya base camp kita dan pada akhirnya ex-kantin-lah yang menjadi pengganti sementara ‘tempat kita bersama’ di FIP, tetapi kita tak menjaganya. Dengan keadaan yang adem ayem itulah seringkali kita terlena, menganggap orang-orang yang ada sudahlah banyak (secara kuantitas) sehingga berpikir tak pentinglah kehadiran kita di situ. Maka, timbullah saling mengandalkan dan ketidak-teraturan, hingga parahnya ketidakpedullian.

            Belajar dari segala hal yang pernah terlewati, belajar dari segala kesalahan yang pernah diperbuat untuk kemudian diperbaiki, bahkan belajar dari suatu kondisi terburuk sekalipun janganlah dianggap remeh, malah sesuatu yang sungguh-sungguh patut kita syukuri. Karena dengan itu semua, berarti Allah masih mengizinkan kita untuk membaca signal-signal yang telah dianugerahkanNya untuk kita. Tetap berkarya...selalu berikan yang terbaik. Menuju orientasi. Luruskan niat..Lillah..Billah..Fillah... J

0 comments:

Post a Comment